Nagasaki - Jepang memasuki darurat nuklir, Jumat (18/3), dengan memburuknya kondisi tiga reaktor nuklir pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Tingkat ancaman dinaikkan ke level 5. Dokter spesialis juga dikerahkan ke Fukushima untuk membantu korban.
Kenaikan tingkat ancaman itu disampaikan Badan Keselamatan Nuklir dan Industri (NISA) Jepang. Sementara Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) baru memulai pengukuran, Jumat.
Level ancaman merujuk Skala Kejadian Radiologi dan Nuklir Internasional (INES) yang diperkenalkan IAEA pada 1990. IAEA menetapkan 7 skala kejadian radiologi dan nuklir. Kejadian level 1-3 termasuk insiden dan level 4-7 disebut kecelakaan. Level 7 terburuk; pernah terjadi di Chernobyl, Ukraina, April 1986.
NISA mengatakan, krisis nuklir di PLTN Fukushima Daiichi naik dari level 4 ke level 5. Itu artinya berpotensi membawa kecelakaan dengan dampak luas. Ada kerusakan pada inti reaktor dan kebocoran radioaktif parsial. Paparan radiasinya bisa membawa kematian. Agar tidak berdampak luas, harus dicegah dengan penanganan terencana.
Badan Otorita Keselamatan Nuklir Perancis bahkan, sejak Selasa, mengatakan, krisis nuklir Jepang harus digolongkan ke level 6. Peningkatan status itu semakin membuat publik Jepang panik. Ribuan ekspatriat, Jumat, masih memadati terminal keberangkatan Bandara Narita, Tokyo.
Pencegahan
Lebih dari 300 teknisi Tokyo Electric Power Co (Tepco), Jumat, berusaha keras mengendalikan kerusakan pada reaktor Unit 1, 2, dan 3. Truk dan helikopter dikerahkan untuk menyiramkan air ke reaktor yang kehilangan sistem pendinginnya itu.
”Bukan hanya Jepang, seluruh dunia bergantung pada mereka,” kata Norie Igarashi (44), pekerja di Tokyo. Ia mengatakan, tim darurat bekerja di tengah meningkatnya radiasi dalam kompleks PLTN. Jika tidak bertindak hati-hati, mereka akan menjadi korban pertama.
Air di kolam penampung bahan bakar bekas di reaktor Unit 3 dan 4 dilaporkan telah habis. ”Prioritas kami ialah mengatasi problem di Unit 3,” kata Sekretaris Kabinet Yukio Edano. Ia menambahkan, Jepang minta bantuan AS untuk ikut mengatasi krisis agar tak berdampak luas. Jika semua upaya itu tak berhasil, Tepco berencana menimbun ketiga reaktor dengan pasir dan beton. Meski demikian, tetap ada kekhawatiran akan mengganggu lingkungan sekitarnya.
Pantauan
Dokter spesialis dari seluruh Jepang didatangkan ke Fukushima untuk memantau efek radiasi terhadap masyarakat dan petugas di sekitar lokasi. Pemerintah Prefektur Nagasaki, yang berjarak lebih dari 1.600 kilometer dari pusat bencana, mengirimkan sedikitnya tiga tim medis sehari setelah letusan pertama terjadi, Sabtu lalu.
Sekolah Kedokteran Universitas Nagasaki, yang berpengalaman puluhan tahun menangani korban bom atom, mengirimkan sedikitnya tiga dokter spesialis.Seiring makin parahnya situasi di Fukushima, makin banyak pakar yang dikirimkan Universitas Nagasaki, termasuk dua profesor pakar penyakit radiasi, yakni Noboru Takamura dari Departemen Epidemiologi Radiasi dan Shunichi Yamashita, Ketua Sekolah Pascasarjana Ilmu Biomedis Universitas Nagasaki.
”Prefektur Fukushima secara khusus minta Universitas Nagasaki mengirimkan Prof Yamashita, yang kaya pengalaman menangani masalah ini pascabencana Chernobyl,” papar Mitsuko Kurisu, juru bicara Departemen Kesejahteraan dan Kesehatan Pemerintah Prefektur Nagasaki di Nagasaki, Jumat.
Selain dari Nagasaki, tim medis dari pusat penelitian penyakit radiasi dari kota lain, seperti Hiroshima dan Tokyo, juga dikirimkan ke Fukushima.
Japan Atomic Industrial Forum (JAIF), lembaga independen yang memantau pemanfaatan energi nuklir di Jepang, mengkhawatirkan lapisan pelindung (CV) reaktor Unit 2 dan 3 rusak. Reaktor di PLTN Fukushima Daiichi memiliki tiga lapis pelindung, yakni lapisan bertekanan (RPV), CV, dan sungkup beton pelindung reaktor. Meski kondisi sedemikian mengkhawatirkan, Institut Proteksi Radiologi dan Keselamatan Nuklir Perancis (IRSN) memperkirakan, kebocoran radiasi tidak akan berpengaruh terhadap kesehatan warga Tokyo, yang terletak 250 km di tenggara.
Untuk memantau kemungkinan penyebaran awan radioaktif, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang mulai mengukur tingkat radiasi di seluruh Jepang. Dua unsur radioaktif utama yang keluar dari reaktor itu adalah isotop Iodine-131 (waktu paruh delapan hari) dan Cesium-137 (waktu paruh 30 tahun). Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan isotop itu untuk memancarkan radiasi separuh dari nilai awalnya.
Menurut Dr Ainur Akilzhanova dari National Center for Biotechnology Kazakhstan, yang sedang melakukan riset tingkat lanjut di Universitas Nagasaki, kontaminasi Iodine-131 bisa diatasi dengan pemberian pil ”antiradiasi”, yang mengandung zat aktif potasium iodida.
Pengukuran JAIF menyebutkan, tingkat paparan radiasi di pagar PLTN mencapai 646,2 mikrosievert per jam pada pukul 11.10, Kamis. Adapun pengukuran NISA terhadap seorang pekerja menunjukkan angka 106,3 milisievert.
Menurut Ainur, level paparan radiasi baru berbahaya bagi tubuh manusia saat sudah mencapai di atas 400 milisievert dan baru mencapai tahap fatal apabila sudah mencapai 10-12 sievert atau 10.000 milisievert.
Sumber : www.kompas.com